SEJARAH DAN PERKEMBANGAN BAHASA BALI
Bahasa
Bali adalah salah satu bahasa daerah di negara Indonesia yang dipelihara dengan
baik oleh masyarakat penuturnya, yaitu etnis Bali. Bahasa Bali sebagai bahasa
ibu atau bahasa pertama bagi sebagian besar masyarakat Bali, dipakai secara
luas sebagai alat komunikasi dalam berbagai aktivitas di dalam rumah tangga dan
di luar rumah tangga yang mencakupi berbagai aktivitas kehidupan
sosial masyarakat Bali. Oleh karena itu, bahasa Bali merupakan pendukung kebudayaan
Bali yang tetap hidup dan berkembang di Bali. Dilihat dari jumlah penuturnya,
bahasa Bali didukung oleh lebih kurang setengah juta jiwa dan memiliki tradisi
tulis sehingga bahasa Bali termasuk bahasa daerah besar di antara beberapa
bahasa daerah di Indonesia.
Keberadaan bahasa Bali memiliki
variasi yang cukup rumit karena adanya sor-singgih yang
ditentukan oleh pembicara, lawan bicara, dan hal-hal yang dibicarakan. Secara
umum, variasi bahasa Bali dapat dibedakan atas variasi temporal, regional, dan sosial.
Dimensi temporal bahasa bali memberikan indikasi kesejarahan dan perkembangan
bahasanya meski dalam arti yang sangat terbatas. Secara temporal bahasa Bali
dibedakan atas bahasa bali Kuno yang sering disebut deengan bahasa Bali Mula atau
Bali Aga, bahasa Bali Tengahan atau Kawi Bali, dan
bahasa Bali Kepara yang sering disebut Bali Baru atau bahasa
Bali Modern.
Secara regional, bahasa Bali
dibedakan atas dua dialek, yaitu dialek Bali Aga (dialek
pegunungan) dan dialek Bali Dataran (dialek umum, lumrah) yang masing-masing
memiliki ciri subdialek tersendiri. Berdasarkan dimensi sosial, bahasa Bali
mengenai adanya sistemsor-singgih atau tingkat tutur bahasa Bali
yang erat kaitannya dengan sejarah perkembangan masyarakat Bali yang mengenal
sistem wangsa (warna), yang dibedakan atas golongan triwangsa (Brahmana,
Ksatriya, Wesia) dan golongan Jaba atau Sudra(orang
kebanyakan). Berdasarkan strata sosial ini, bahasa Bali menyajikan sejarah
tersendiri tentang tingkat tutur kata dalam lapisan masyarakat tradisional di
Bali. Di sisi lain, dalam perkembangan masyarakat bali pada zaman modern ini
terbentuklah elite baru yang termasuk kelas kata yang tidak lagi terlalu
memperhitungkan kasta. Elite baru (golongan pejabat, orang kaya) selalu
disegani dan dihormati oleh golongan bawah dan ini tercermin pula dalam
pemakaian bahasanya.
Dari sisi kesejarahan bahasa Bali
yang telah disinggung dalam dimensi temporal di atas, bahasa Bali Kuno
merupakan bahasa Bali yang tertua di Bali yang banyak ditemukan pemakaiannya
dalam Prasasti 804 Śaka (882 Masehi) sampai dengan
pemerintahan Raja Anak Wungsu tahun 904 Śaka (1072 Masehi).
Pengaruh kebudayaan Jawa (Hindu)
tampak bertambah kuat pada pemerintahan Anak Wungsu. Pengaruh itu tampak juga
pada bahasa. Prasasti yang bertuliskan bahasa Bali Kuno kemudian disalin dalam
bahasa Jawa Kuno sehingga pemakaian bahasa Jawa Kuno menjadi suatu kebiasaan di
Bali. Kondisi seperti itu menyebabkan bahasa Bali Kuno (khususnya ragam tulis)
nyaris tidak terpakai lagi dan diganti dengan bahasa Jawa Kuno. Akan tetapi,
pemakaian bahasa Bali Kuno ragam lisan tetap hidup dan berkembang yang
selanjutnya merupakan cikal bakal bahasa Bali Modern.
Perkembangan bahasa Jawa Kuno yang
hidup banyak mendapat pengaruh bahasa sanskerta. Di sisi lain, sampai abad
ke-11, di jawa berkembang suatu ragam bahasa Jawa Kuno dari bahasa umum
yang dipakai dalam metrum asli Indonesia (Jawa) yang disebut dengan kidung.
Dalam perkembangannya, di Jawa bahasa ini disebut bahasa Jawa Tengahan (pada
umumnya dipakai dalam ragam sastra), yang kemudian bermuara dan
berkembang di Bali berdampingan dengan bahasa sehari-hari. Di Bali, bahasa JawaTengahan ini
disebut dengan bahasa Bali Tengahan.
Dari sudut kesejarahan, penamaan
bahasa Bali Tengahan ini sama sekali mengetengahi perkembangan
bahasa Bali Kuno ke bahasa Bali Modern. Bahasa BaliTengahan (Kawi Bali)
merupakan pencampuran leksikal kata-kata bahasa Jawa (Tengahan) dengan
bahasa Bali pada masa itu. pengaruh ini datang dari Kerajaan
Majapahit ketika Patih Gajah Mada menguasai Pulau Bali. Bahasa
Jawa Tengahan dan Jawa Baru yang mengenal adanya sistem
unda-usuk mempengaruhi bahasa Bali (Tengahandan Baru) sehingga bahasa
Bali juga menegenal adanya sistem sor-singgih atau
tingkatan-tingkatan bahasa khusus bahasa Bali Dataran. Di Bali, bahasa
Bali Tengahan hidup dengan subur dan digunakan oleh para
pengarang dalam berkarya seni sastra. Terbukti banyaknya karya sastra yang
lahir pada masa itu, seperti kidung, tatwa, kalpa sastra, kanda, dan babad.
Dalam seni pertunjukan, bahasa Bali Tengahan digunakan dalam seni pertunjukantopeng,
arja, prembon, wayang, dan sejenisnya.
Bahasa Bali Kepara (Modern,
Baru) merupakan bahasa Bali yang masih hidup dan terpakai dalam konteks
komunikasi lisan dan tulis bagi masyarakat Bali sampai sekarang. Istilah kepara dalam
bahasa Bali berarti ketah, lumrah, biasa yang dalam bahasa
Indonesia bermakna 'umum'. Bahasa Bali Kepara (Modern)
mengenal dua jenis ejaa, yaitu ejaan dengan huruf Bali dan huruf latin.
Penamaan bahasa Modern ini karena bahasa BaliKepara itu tetap
berkembang pada zaman modern seperti sekarang ini. Kehidupan dan perkembangan
bahasa Bali Modern yang juga merupakan sarana dan wahana kehidupan kebudayaan,
agama, dan adat istiadat masyarakat etnis Bali yang berkelanjutan dari zaman ke
zaman kerajaan, penjajahan, sampai zaman kemerdekaan termasuk setelah
kemerdekaan.
Bahasa Bali Modern juga mengenal
sistem sor-singgih (terutama bahasa Bali Dataran) karena
mendapat pengaruh dari Jawa. Pada zaman kerajaan, raja-raja Bali sering ke
Jawa, hubungan Jawa-Bali sangat rapat sehingga kebudayaan Jawa (Hindu) sangat
besar pengaruhnya terhadap kebudayaan Bali (Hindu). Pada zaman kerajaan, sistem
pemakaian sor-singgih bahasa Bali sangatlah tertib ditanamkan pada pada
pelapisan masyarakat Bali. Kelompok atas dalam pelapisan masyarakat tradisional
di Bali yang disebut dengantriwangsa jika berkomunikasi kepada
kelompok bawah (sudra, orang kebanyakan) diperkenankan memakai bahasa
Bali ragam rendah sebaliknya, kelompok bawah (sudra) jika berkomunikasi
kepada kelompok atas (triwangsa) menggunakan bahasa Bali ragam tinggi
(halus).
Pada zaman penjajahan, terutama yang
kelihatan pengaruhnya terhadap perkembangan bahasa bali yaitu pada masa
penjajahan Belanda, banyak sekolah didirikan sebegai sarana pendidikan formal. Belanda dapat
menaklukkan kerajaan-kerajaan di Bali sejak tahun 1846
Masehi hingga tahun 1942. Pada awal abad ke-19, sebelum penjajahan
Jepang, sekolah-sekolah mulai bermunculan yang didirikan oleh pemerintah VOC
Bertujuan agar rakyat dapat menulis, membaca, dan berhitung. Mulai saat itulah
bahasa Bali Kepara (Modern) selain dikembangkan di luar
pendidikan formal, juga dikembangkan dalam pendidikan formal melalui proses
belajar mengajar. Sebaliknya, pada zaman penjajahan Jepang, mulai tahun 1942,
sejarah bahasa Bali Kepara (Modern) mengalami masa suram
karena, di samping tidak ada pelajaran bahasa Bali di sekolah, juga banyaknya
buku berbahasa Bali (Modern) yang dibakar.
Kejatuhan Jepang ditangan Sekutu
dimanfaatkan oleh bangsa Indonesia untuk memerdekakan diri. Sementara itu,
Sekutu ingin menjajah lahi sehingga terjadilah revolusi fisik. Revolusi
tersebut juga terjadi di Bali yang menyebabkan banyak tenaga guru di Bali masuk
ke hutan bergerilya. Keadaan tersebut membuat pembinaan bahasa bali Keparasemkain
tidak diperhatikan. Hal itu berlangsung sampai tahun 1950-an. Baru
pada tahun 1968 bahasa Bali dimasukkan dalam kurikulum dan terus
dibina. Pendidikan semakin maju, selain penguasaan bahasa Bali sebagai
bahasa ibu sebagian besar masyarakat Bali, penguasaan bahasa Indonesia juga
semakin mantap sehingga menyebabkan terbentuknya tatanan masyarakat yang
berdwibahasa.
Berdasarkan uraian di atas, bahasa
Bali sepanjang perjalanannya mengalami perkembangan dan pengembangan.
Perkembangan, maksudnya perluasan atau pertumbuhan secara alami tanpa
perencanaan. Pengembangan, maksudnya pertumbuhan bahasa Bali dengan cara
sengaja berdasarkan perencanaan. Bahasa Bali yang digunakan sekarang ini
merupakan hasil pembaharuan atas perkembangan dan pengembangan sejak dulu.